Minggu, 03 Juni 2012
HUKUM DAGANG
REVIEW JURNAL HUKUM DAGANG
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05
Judul : Pemberdayaan Koperasi Usaha Kecil dan Menengah dalam Memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual
Pengarang : Idham Bustamam
Abstrak
Pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam penelitian ini, hanya berdasar pada fakta di lapangan, bagaimana koperasi dan UKM memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual nya, dan seberapa jauh pemerintah memberikan promosi tersebut untuk lembaga yang bersangkutan, sehingga informasi yang diterima oleh koperasi dan UKM untuk perusahaan adalah sama. Rendahnya minat untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual menyebabkan rendahnya minat untuk mendaftarkan perusahaan mereka dan ketidak inginan untuk membayar biaya di luar bisnis. Responden sangat ingin menunggu informasi tetntang promosi Hak Kekayaan Intelektual dari Pemerintah atau
instansi terkait.
Kata kunci : “Perlu Penyuluhan”
Pendahuluan
Dalam era globalisasi sekarang ini, untuk dunia perdagangan internasional batas negara boleh dikatakan hamper tidak ada lagi, karena setiap negara telah menyepakati kesepakatan internasional di bidang perdagangan seperti WTO, APTA, APEC dan lain sebagainya harus
tunduk kepada kesepakatan tersebut. Dengan demikian setiap negara tidak dapat lagi melindungi perekonomiannya dengan kebijakan tarif maupun fiskal melebihi kesepakatan yang telah diterapkan. Indonesia telah mengikrarkan ikut dalam organisasiperdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) denganmengesahkan keikutsertaannya dalam Undang-Undang No.7 Tahun1997.
Dalam era tersebut persaingan yang terjadi adalah persaingan antar produsen ataupun perusahaan dan bukan lagi antar negara. Siapa yang dapat bekerja lebih professional dan efisien itulah yang keluar sebagai pemenang dan dapat eksis di pasar. Koperasi, usaha kecil dan menengah yang telah terdaftar dan mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual antara lain : CV. Hadle (garmen) di Cempaka Putih dengan merek “Supramanik”, Atikah (garmen) di Jawa dengan merek “Dewi Bordir”, PT. Lembaga Kencana (susu sapi) di Bandung dengan merek “Lambang Kencana”, dan Endjang Dudrajat (peti antik) di Jawa Barat dengan merek “Pramanik”. Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil lebih memberikan leluasa gerak dari usaha kecil. Pada pasal 12/1995 Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf f dengan menetapkan Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan untuk:
1). Menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan dengan
mengupayakan terwujudnya sistem pelayanan satu atap;
2). Memberikan kemudahan persyaratan untuk memperoleh perizinan.
Di bidang Perkoperasian Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pasal 61 menyebutkan antara lain: “Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim kondusif yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi, Pemerintah :
1). Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada Koperasi;
2). Meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadiKoperasi yang sehat, tangguh dan mandiri;
3). Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara Koperasi dengan badan usaha lainnya;
4). Memberdayakan Koperasi dalam masyarakat.
Berbagai kebijakan tersebut diatas mengindikasikan pemerintah sangat peduli akan tumbuh dan berkembangnya Koperasi dan Usaha Kecil dengan melindungi dan memberikan iklim, baik untuk Koperasi dan Usaha Kecil. Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan tentang merek pertama kali dikenal dengan di undangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang “Merek Perusahaan dan Perniagaan”. Undang-Undang ini dikenal dengan sebutan undangundang merek dan merupakan perubahan tentang ketentuan yang mengatur tentang merek sejak zaman kolonial dahulu yang disebut “Reglement Industrial Eigendom Kolonial”. Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 menganut sistem “Deklaratif” dengan pengertian bahwa perlindungan hukum terhadap hak atas merek yang diberikan kepada pemakai merek pertama. Di dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut dirasakan masih kurang tepat karena belum menggambarkan/mengikat kepastian hukum, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang baru No. 19 Tahun 1992 tentang merek. Ada perbedaan yang sangat menyolok pada Undang-Undang No.19 Tahun 1992 menganut sistem “Konstitutif” yang lebih menjamin kepastian hukum karena perlindungan hukum hak atas merek diberikan kepada pendaftar pertama. Tahun 1997 oleh Pemerintah dikeluarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 sebagai penyesuaian Undang-Undang No. 19 tahun 1992, 3 yang mengatur tentang merek dagang dan jasa, kemudian diatur lagi Undang-Undang merek yang khusus pada UU Merek No. 15 Tahun 2001.
2. Rumusan Masalah
Kalau dilihat dari judul penelitian, maka dapatlah diidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1). Sejauhmana sebenarnya minat dari Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
2). Sejauhmana pemberian penyuluhan-penyuluhan HaKI oleh lembagalembaga pemerintah yang terkait.
3). Sejauhmana hambatan-hambatan yang dihadapi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah selaku pemanfaat HaKI.
3. Tujuan dan Manfaat
1).Tujuan dari penelitian ini dapat disampaikan antara lain :
- Seberapa minat untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) bagi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
- Faktor-faktor penyebab kurang minatnya untuk memanfaatkan Hak kekayaan Intelektual (HaKI) bagi koperasi, Usaha Kecil danMenengah.
2). Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga, dinas terkait, serta KUKM sebagai bahan penyusunan rencana kebijakan yang akan datang.
4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi :
1). Gambaran produk-produk yang dihasilkan KUKM
2). Langkah-langkah operasional yang telah dilakukan instansi, dinas yang menangani HaKI
3). Faktor-faktor penghambat dalam mendapatkan HaKI oleh Koperasi,Usaha Kecil dan Menengah.
II. GAMBARAN UMUM
1. Merk
Dalam UU No. 15 Tahun 2001 “Merek” adalah tanda yang berupa gambar,nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.
Merek merupakan karya intelektual yang menyentuh kebutuhan manusia sehari-hari dalam melengkapi hidupnya misal saja untuk makanan, minuman dan keperluan sekunder seperti TV,radio, kulkas, AC dan alat rumah tangga lainnya.
Dalam Undangundang Merek Nomor 15 Tahun 2001 pasal 90 berbunyi; “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama atau keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
2. Sosialisasi Mendapatkan HaKI
Di Indonesia kelihatannya HaKI kurang diminati oleh pelaku bisnis, karena kurangnya penyuluhan, kurangnya pembinaan pemerintah bagi usaha yang telah mulai baik jalannya. Hal tersebut disebabkan kultur masyarakat yang beranggapan memperbanyak karya intelektual dengan mempromosikan karya tersebut tidak perlu otorisasi, ada yang beranggapan tanpa HaKI barang/produk juga terjual, dan biaya administrasi tinggi berarti menambah beban usaha saja. Persepsi yang kurang tepat ini perlu diluruskan dengan sosialisasi dibidang HaKI yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai sistem HaKI nasional maupun internasional termasuk dalam hal merek.
3. Sengketa Merek Bagi Pelaku Bisnis
Sengketa yang paling sering terjadi adalah pemalsuan merk dagang. Sengketa penggunaan merek tanpa hak dapat digugat dengan delik perdata maupun pidana, disamping pembatalan pendaftaran merek tersebut. Tindak pidana dalam hal merek dapat dibagi 2, yaitu Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan : Pasal 92 ayat 1 : “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
III. METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terpilih sampel ada 4 (empat) propinsi yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Lampung. Karakteristik produk dari keempat propinsi sampel antara lain, Propinsi Kalimantan Selatan terkenal dengan produksi mandau (golok), tikar lampit rotan, kipas rotan, keranjang rotan, tas dari manik. Kalimantan Tengah terkenal pula dengan hasilnya seperti anyamanyaman tikar dari rotan yang disebut tikar lampit dan kursi rotan. Kalimantan Timur cukup terkenal dengan sarung Samarinda, tas dan sarung pensil manik, bengkel bubut pembuatan kipas kapal. Propinsi Lampung kerajinan rumah tangga terkenal dengan pembuatan kopi, keripik singkong, keripik pisang dan makanan-makanan kecil lainnya.
2. Populasi Penelitian
Dari empat propinsi yang diteliti maka data-data diambil sebagai berikut : setiap propinsi 3 kabupaten/kota berarti daerah survey 12 kabupaten/kota. setiap kabupaten/kota diambil datanya 5 koperasi dan 5 usaha kecil dan menengah. Koperasi yang disurvei berjumlah 60 koperasi, dan 60 usaha kecil dan menengah. Jumlah data terkumpul yang diperoleh 120 koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
3. Penarikan Sampel
Penelitian ini mempergunakan teknik antara lain :
a. Field Work Research
Penelitian langsung ke lapangan tempat obyeknya (observasi).
b. Library Research
Pengamatan deskriptif diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai permasalahan yang berhubungan dengan materi penelitian.
Pembahasan
1. Karakteristik Pengusaha
1). Persepsi Dan Pemanfataan HaKI
Dari hasil survei lapangan diketahui bahwa 100,00% responden menyatakan pernah mendengar tentang HaKI. Penyuluhan yang telah diperoleh yaitu, dari instansi terkait (pembina) hanya 18,75%, melalui media massa 5,00%, dan melalui pengusaha 76,25%. Pemahaman tentang HaKI, dari responden yang mengatakan mamahami 30,00%, dan yang tidak paham HaKI 70,00%. Guna kemajuan usaha telah pula diperoleh informasi yang jelas, bahwa responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan 75,00%, dan yang mengatakan terhambat jalannya 25,00% (tabel 1).
Dari data-data yang telah diperoleh bahwa penyuluhanpenyuluhan tentang arti dan pentingnya HaKI perlu ditingkatkan secara kontinu dari pemerintah.
2). Minat Mendapatkan HaKI
Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang mengatakan berminat mendapatkan HaKI sebesar 2,25%, kurang minat 52,50%, dan tidak berminat akan HaKI sebesar 45,25%. Kalau mendapatkan HaKI dalam bentuk paten sebesar 52,50%, dan bentuk merek 47,50% (tabel 2).
Para pengusaha mengatakan bahwa belum sepenuhnya tahu mengurus administrasi HaKI. Disamping itu modal usaha yang dimiliki masih relatif kecil dengan teknologi sederhana.
3). Pemilikan HaKI Dan Produk Usaha
Hasil survei mengatakan bahwa apabila memperoleh HaKI dipergunakan untuk usaha sendiri sebesar 100,00%. Sedangkan produk yang akan didaftarkan adalah hasil temuan sendiri 82,50%.
Produk mendapatkan HaKI adalah produk yang tidak memiliki saingan 77,50%, (tabel 3). Pengusaha sebagai responden, usaha yang dikelola umumnya usaha turun temurun dan telah ditekuni berpuluh-puluh tahun.
4). Penyuluhan dan Biaya Mendapatkan Informasi
Hasil survei menggambarkan bahwa tidak ada biaya bila mencari sendiri sebesar 40%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kaltim 30,00%, Kalsel 35,00%, Kalteng 45,00%, dan Lampung 50,00%. Apabila mencari dan mendengar dari orang lain maka responden merasa kurang yakin kebenarannya, rata-rata jawaban responden 35,00%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kalsel 25,00%, Kalteng 30,00%, Kaltim 45,00%, dan Lampung 40,00%. Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait yang berwenang memberikan penyuluhan lebih menguntungkan
menurut responden, rata-rata 33,75%. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kalsel 45,00%, Kalteng 30,00%, Kaltim 20,00%, dan Lampung 40,00%. Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait, selain jelas penyuluhan diperoleh, dan juga kemudahan pemanfaatannya, rata-rata responden memberikan pendapatnya sebesar 55,00%. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kalsel 75,00%, Kalteng 35,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 60,00%,(tabel 4).
5). Biaya Pengurusan HaKI
Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengurus HaKI cukup besar, dan beragam untuk tiap daerah. Dari daftar pertanyaan yang disampaikan, seluruhnya menjawab, ya
(100,00%). Untuk administrasi dijawab rata-rata 57,25%, untuk pendaftaran rata-rata 30,50%, biaya lain-lain di jawab 52,50% (tabel 5). Kalau dirinci propinsi sampel bahwa memang ada biaya dikeluarkan, dapat disampaikan jawaban sebagai berikut: Biaya administrasi daerah responden Kalsel 50,00%, Kalteng 72,00%, Kaltim 32,00% dan Lampung 75,00%. Biaya pendaftaran Kalsel 50,00%, Kalteng 23,00%, Kaltim 24,00%, dan Lampung 25,00%.
Biaya lain-lain Kalsel 75,00%, Kalteng 55,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 30,00%.
Dari hasil pengamatan lapangan, indikasi tentang keengganan pengusaha untukmengeluarkan biaya pengurusan HaKI. Apabila modal kerja dikeluarkan bukan untuk membiayai usaha perusahaan, dikhawatirkan kegiatan usaha akan terganggu.
6). Keuntungan Memiliki HaKI
Dari jawaban responden diketahui bahwa 42,00% menyatakan bahwa pemilikan HaKI memberikan keuntungan. Kalau dijabarkan secara rinci per propinsi adalah sebagai berikut:
Memberikan keuntungan, Kalsel 60,00%, Kalteng 40,00%, Kaltim 40,00% dan Lampung 30,00%. Tidak memberikan keuntungan, Kalsel 40,00%, Kalteng 60,00%, Kaltim 60,00%, dan Lampung 70,00%.11 Keuntungan produksi mendapatkan jaminan rata-rata 48,25%, nilai komersilnya naik menjawab 29,25%, mendapatkan kepuasan moral 3,75%, dan dapat dijual belikan menjawab 18,75%(tabel 6).
2. Faktor Mempengaruhi Mendapatkan HaKI
1). Permohonan Dan Biaya HaKI
Persyaratan pengajuan permohonan untuk mendapatkan HaKI telah ditetapkan oleh Departemen Hukum Dan HAM Cq. Direktorat Jenderal HaKI. Baik untuk permohonan Paten maupun
Merek. Permohonan administrasi sebagai berikut:
- Pemohon langsung mengajukan permohonan kepada Dirjen HaKI di Jakarta.
- Mengoreksi salah atau benar permohonan oleh Ditjen HaKI melalui Tim.
- Permohonan ditolak Ditjen HaKI, untuk perbaikan cukup memakan waktu.
- Pembayaran biaya permohonan, rekening nomor 311928974 BRI Cabang Tangerang atas nama Direktorat Jenderal HaKI.
- Kantor Wilayah (Daerah) atau pejabat yang ditunjuk, membubuhkan tanda tangan dan stempel pada permohonan diterima.
(1). Biaya Paten antara lain terdiri dari :
- Biaya permohonan paten 12
- Biaya pemeriksaan substansi paten
- Penulisan deskripsi, abstrak, gambar
- Biaya lain-lain
(2). Biaya Merek antara lain terdiri dari :
- Biaya permohonan merek
- Biaya perpanjangan merek
- Biaya pencatatan pengalihan hak merek
- Biaya lain-lain
2). Usaha Koperasi dan Usaha Kecil
Responden yang diwawancarai kebanyakan usaha bergerak dalam lingkungan industri kerajinan rakyat (industri alat rumah tangga). Kegiatan usaha mempekerjakan keluarga, tetangga dan penduduk sekitar tempat usaha. Pengembangan usaha relatiflamban, karena modal kecil, usaha turun temurun, kadangkadang produksi berdasarkan pesanan. Bagi koperasi, jenis usaha
ditekuni umumnya unit toko dan unit simpan pinjam yang kebanyakan melayani anggotanya. Ada jenis usaha lain yang didirikan koperasi, tapi belum banyak berkembang, oleh karena itu
untuk membiayai usaha tersebut diambilkan dananya dari usaha yang telah maju. Bagi usaha koperasi pengambilan keputusannya berbeda sekali dengan keputusan diambil usaha kecil termasuk usaha menengah. Keputusan yang diambil koperasi berdasarkan kehendak para anggota, disalurkan melalui rapat anggota. Pengurus koperasi tidak mempunyai wewenang dalam menentukan kegiatan baru, lebih-lebih kegiatan tersebut memerlukan biaya-biaya.
Bila pengurus ingin untuk mendapatkan HaKI, maka pengurus koperasi harus mendapatkan persetujuan dari anggota dengan rencana kerja yang disahkan. Koperasi milik anggota
dengan semboyan “dari, oleh, untuk” anggota. Rencana kerja yang telah disahkan melalui rapat, sangat penting bagi organisasi koperasi untuk mengetahui hasil kerja pengurus dalam satu tahun
buku. Didalam neraca tahunan terlihat apakah suatu koperasi rugi atau untung. Karena lambatnya keputusan yang diambil harus melalui rapat anggota, bila ada peluang usaha yang harus
diputuskan waktu itu juga, tidak dapat diputuskan. Akibatnya koperasi tidak dapat mengambil peluang usaha. Beberapa orang pengurus dan manager yang ditunjuk mengelola usaha koperasi,
bukan membuat keputusan tetapi menjalankan keputusan yang telah ada berdasarkan hasil rapat anggota. Pengurus mempertanggung jawabkan hasil kerjanya selama tahun buku kepada rapat anggota, sedangkan manager mempertanggung jawabkan hasil kerjanya kepada pengurus, karena manager diangkat pengurus dalam surat keputusan dengan masa jabatan telah ditetapkan. Pekerjaan yang ada di koperasi, baik administrasi 13 organisasi, administrasi usaha dipertanggung jawabkan pengurus pada akhir tahun buku dalam rapat anggota tahunan (RAT).
3). Kiat-Kiat Peningkatan Pemanfaatan HaKI
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) sudah seharusnya dapat meningkatkan pemanfaatan penggunana HaKI oleh koperasi, usaha kecil dan menengah. Memberikan peran yang luas pada Kanwil Hukum Dan HAM didaerah (dinas didaerah) antara lain :
(1). Pemberian penyuluhan bersama dinas terkait secara kontinu.
(2). Permohonan yang disampaikan koperasi, usaha kecil dan menengah melalui Kanwil Hukum Dan HAM di daerah (dinas daerah), segera dikirim kepada Direktorat Jenderal HaKI di Jakarta, untuk disahkan.
(3). Bagi daerah pemohon yang tinggal dipedesaaan jauh dari Jakarta (luar Jawa), administrasi pemohon dijamin tidakn mengalami kekeliruan.
(4). Biaya permohonan, biaya lain-lain, besar biayanya ditinjau
kembali.
Penutup
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari hasil survei lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1). Rata-rata responden pernah mendengar HaKI (100,00%), tetapi belum mengerti arti dan pentingnya, serta prosedur pengajuan administrasi.
2). Rata-rata responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan (75,00%). Usaha dikelola kecil-kecil dan diantaranya ada usaha yang turun-temurun
3). Rata-rata responden mengatakan kurang berminat memiliki HaKI (52,50%), dan tidak berminat (45,25%). Ini disebabkan biaya dikeluarkan akan mengganggu kelancaran usaha.
4). Hasil jajak pendapat dilapangan (survei responden) mengatakan, menunggu penyuluhan tentang HaKI dari pemerintah dan instansi terkait.
2. Saran-Saran
1). Penyuluhan HaKI didaerah-daerah terus ditingkatkan, agar koperasi, usaha kecil dan menengah mengetahui arti dan pentingnya HaKI.
2). Biaya permohonan, biaya administrasi, dan biaya lain-lain agar ditinjau kembali, termasuk syarat pembayaran. Pembayaran oleh pemohon setelah permohonan diterima, yang disyahkan Direktorat Jenderal HaKI Jakarta. 14
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Direktorat Jenderal BinaLembaga Koperasi. Jakarta.
Anonimous, (1995). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 Tentang Usaha Kecil Departemen Koperasi dan Pembinaan PengusahaKecil, Direktorat Jenderal Pembinaan Koperasi Perkotaan. Jakarta.
Anonimous, (2001). Undang-undang Republik Indonesia Tentang Paten danMerek Tahun 2001. Penerbit “Citra Umbara”. Bandung.
Hadi Sutrisno, (1993). Metodologi Research. Penerbit. “Andi Offset”,Yogyakarta.
Maulana Insan Budi, (2000). Peran Serta LSM dalam Pemberdayaan KPKM diBidang HaKI khususnya Merek Dagang. Disampaikan dalam WorkshopPemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.
Nahar Rahimi SH, (2000). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Merek di Indonesia. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta.
Singgih Santoso, (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Paramatrik. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Sugiyono, (2003). Metode Penelitian Bisnis. Alfa Beta, Bandung.
Suharto, Tata Iryanto, (1996). Kamus Bahasa Indonesia Terbaru. Penerbit
“Indah”. Surabaya.
Umar Achmad Zen P, (2000). Sosialisasi dan Penegak Hukum di Bidang HaKI Khususnya yang Berkaitan dengan Merek Dagang. Disampaikan dalam Workshop Pemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.
sumber : http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/_2_%20Jurnal_haki_Idham.pdf
HUKUM PERJANJIAN
REVIEW JURNAL HUKUM PERJANJIAN
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani (20210346)
Cyntia Citra Ramadani (28210869)
Ni Wayan Kristi Gayatri (24210953)
R. Syah Putra Alam (25210485)
Rissa Dwi Rizqia (26210057)
• Kelas : 2EB05
ABSTRAK
Pemerintah harus memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi investor asing, khususnya investor yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN. Substansi pembaharuan dibidang perpajakan dan investasi tersebut harus di harmoniskan dengan konsep AFTA melalui CEPT. Namun, demikian kendala-kendala yang dihadapi oleh para pelaku usaha adalah untuk disejajarkan dengan pelaku usaha dari negara-negara anggota ASEAN lainnya, pengusaha Indonesia masih berharap adanya intervensi dari pemerintah untuk melindungi mereka dari ancaman para pelaku usaha luar negri. Di tingkat ASEAN daya saing Indonesia relatif sangat rendah dan belum memiliki sikap outward looking.
Kata kunci : Kebikjakan Perpajakan, investasi, AFTA.
PENDAHULUAN
Berkembangnya kerjasama ekonomi regional sebagaimana dilakukan ASEAN Free Trade Area (AFTA) mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2003. Dan kesepakatan tersebut menuntut Indonesia untuk mengatur kegiatan investasi dan hukum investasi yang di harmonisasikan dengan ketentuan dalam AFTA. Penetapan AFTA sebagi suatu sistem perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara tersebut akan menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dibidang lnvestasi serta akan membawn dampak pengelolaan Investasi atau ekonomi di Indonesia, dimana lalu lintas perdagangan akan bebas tanpa hambatan tarip bea masuk maupun non tarip. Artinya barang-barang hasil produksi negara-negara ASEAN akan masuk dengan sangat bebas kedalam setiap negara anggota ASEAN.
Dampak ini akan lebih terasa lagi setelah arus globalisasi ekonomi semakin dikembangkan oleh prinsip liberalisasi perdagangan (Trade Liheralisation) lainnya yang telah diupayakan secara bcrsama-sama oleh negara-negara didunia dalam bentuk kerjasaama ekonomi regional maupun internasional. Globalisasi Hukum itu sendiri dapat terjadi melalui Perjanjian dan Konvensi-Konvensi nrernasional. Konvensi lnrernasional. Bagi Indonesia yang memiliki perekonomian yang bersifat terbuka akan terpengaruh oleh prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi perdagangan tersebut. Perekonomian lndonesia akan berhadapan secara langsung dengan perekonomian negara lain atau mitra dagang Indonesia, seperti ekspor import, 1nvestasi.baik yang bersifat lnvestasi langsung maupun tidak langsung.
Di era AFTA, Indonesia harus sudah memperiapkan diri secara mantap dalam menghadapi pengauh dan akibat yang timbul terhadap perekonomian atau perdagangan Internasional dalam serriua aspek, termasuk didalamnya aspek dibidang Hukum, khususnya Hukum perpajakan dan Hukum lnvestasi yang mempakan pranata Hukum yang berisikan kebijaksanaan untuk mengarahkan kegiatan serta pergerakan dan perpindahan barang serta kegiatan lnvestasi searah ketentuan yang terdapat didalam AFTA.
PEMBAHASAN
Hukum dalam era globalisasi haruslah sejalan dengan rambu-rambu yang terdapat dalam perdagangan bebas itu sendiri, hal yang demikian haruslah dapat dipahami bahwa pertukaran-pertukaran yang terjadi atas komoditas-komoditas antar negara haruslah dalam kedudukan yang independen tanpa halangan-halangan Hukum yang dapat dimaksudkan untuk membatasi perdagangan tersebut.
Dalam pembaharuan Hukum memasuki era AFTA, upaya untuk memberikan jaminan dan kepastian Hukum di Indonesia menjadi semakin penting. Oleh krena itu kebijaksanaan pembaharuan Hukum Indonesia dalam era AFTA hendaknya berorielztasi kepada adanya suatu jaminan dan kepastian Hukum sesuai dengan yang diinginkan dalam ketentuan- ketentuan AFTA.
Untuk pembaharuan Hukum lnvestasi dan Perpajakan dalam era AFTA, proses yang harus dilakukan adalah membuat ketentuan-ketentuan Perpajakan serta lnvestasi yang sesuai dengan persyaratan tersebut diatas, agar jalannya kebijakan Perpajakan dan lnvestasi itu tidak terhambat. Persyaratan pembaharuan Hukum Pajak dan lnvestasi itu juga harus diharmonisasikan dengan konsep AFTA melalui Common Ejceclive Preferential Tarif(CEPT).
Adapun kerangka CEPT adalah sebagai berikut :
a. Ketentuan Umum.
1) Semua negara anggota ASEAN ikut serta dalam skema CEPT.
2) Produk-produk yang dimasukkan ke dalam skema CEPT berdasarkan pendekatan sektoral pada tingkat 6 (enam) digit HarnionizedSy.s/enl (HS).
3) Bagi negara-negara yang belum siap memasukkan produkproduk tertentu kedalam skema CEPT pengecualian dapat dilakukan pada tingkat 8 (delapan) atau 9 (sembilan) digit 1-1s dan bersifat sementara.
4) Produk-produk yang dianggap “Sensitif’ oleh negara-negara anggota dapat dikeluarkan dari skema CEPT dan tidak diberikan konsesi dalam rangka CEPT berupa penurunan tarif (NTB) dan lain-lain. Setelah 8 (delapan) tahun, produk yang dikeluarkan tersebut ditinjau kembali wntuk ‘ ditetapkan apakah: masuk skema CEPT atau ikeluarkan secara permanen. Ketcntuan tersebut merupakan pelaksanaan prinsip (6-X).
5) Produk CEPT harus memenuhi kandungan lokal (loco1 content) paling sedikit 40%.
6) Produk-produk skema Tarif Preferensi ASEN (ASEAN PTA), setelah dikenakan Margin of TarifS Preference (MOP) sehingga tarif efektifnya menjadi 20% atau lebih rendah, dialihkan masult skema CEPT. Bagi produk ASEAN PTA, yang belum memenuhi ketentuan diatas, tetap menikmati MOP yang berlaku.
b. Lingkup Produk CEPT.
Produk CEPT meliputi semua jenis produk industri termasuk barang modal, produk olalian hasil pertanian dan produk-produk lainnya yang tidak termasuk definisi produk pertanian.l’roduk pertanian jangka waktu 15 tahun.
c. Penurunan Tarif dan Jangka Waktu.
I) Penunman tarif efektif produk CEPT dilaksanakan secara bertahap sampai mencapai tingkat antara 0%-5% dalam jangka waktu 15 tahun.
2) Jadwal penurunan tarif :
a. penurunan tarif yang scdang berlaku sampai mcnjadi tarif efektif 20 % adalah dalam jangka waktu 5 – 8 tahun dan dimulai tanggal l januari 1993.
b. Penurunan tingkat tarifeff’ektif’ selanjutnya dari 20% ntenjadi 0% -5% adalah dalam jangka waktu 7 tahun.
c. Secara keselumhan ke dua proses penurunan tersebut diatas tidak lebih dari 15 tahun.
3) Produk-produk yang telah niencapai tingkat tarif 20% atau lebih rendah, dapat menikmati
konsesi CEPT dengan syarat negara yang bersangkutan niengumumkan jadwal penurunan
tarifnya dari 20% menjadi 0%-5% atas produk
4) Jadwal penurunan tarif tersebut diatas tidak menghalangi suatu negaraa untuk menurunkaan tarifnya menjadi 0% dengan segera.
d. Ketentuan-ketentuan lainnya.
1) Produk CEPT dibebaskan dari pembalasan kwantitatif dan larangan penggunaan valuta asing. Selanjutnya dalam lima (5) tahun bentuk-bentuk NTB (Non Tara Barrier) lainnya liarus telah dihapuskan.
2) Negara peserta tidak diperkenankan menghapus atau mengurangi segala konsesi yang felah disepakati melalui penerapan sistem Custom Valueation, pengaturan baru yang dapat menghambat perdagangan kecuali unluk kasus-kasus tertentu yang telah ditetapkan dalam pejanjian.
3) Dapat dilakukan langkah-langkah darurat asal saja sesuai dengan ketentuan GATT, yaitu :
a. Dalam pelaksanaan CEPT, apabila import suatu barang meningkat pesat sehingga menyebabkan pengaruh berat bagi industri yang sama dinegara anggota, maka negara
yang bersangkutan dapat menangguhkan sementara peniberian konsesi tarifnya.
3. Kendala-kendala Perpajakan dan Investasi dalam Kerangka AFTA.
a. Pelaku usaha di lndonesia untuk disejajarkan dengan pelaku usaha dari negara anggota ASEAN lainnya.
b. Mengingat dengan sudah terikatnya lndonesia dalam AFTA, maka kebijakan yang harus diambil adalah bagaimana lndonesia tidak terus berfikir sebagai Indonesia, tetapi Indonesia harus berfikir sebagai ASEAN. Mengingat AFTA mensyaratkan adanya kesatuan langkah dari para anggotanya, maka segala kebijakan dan peraturan perundang-Undangan harus sinkron antara satu negara dengan negara lainnya. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan adanya harmonisasi Hukum seluruh anggota.
c. Pemerintah lndonesia harus mampu terdorong supaya para pelaku usaha dalam negeri lebih kompetitif. Bahkan pemcrintah harus berupaya untuk meniadakan potongan dan pungutan-pungutan tidak resmi sebagaimana telah dilakukan oleh sebagian negara-negara anggota ASEAN. Harus diakui biaya siluman merupakan salah satu faktor yang membuat harang dan jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha lndonesia menjadi tidak kompetitif.
d. Korupsi dan pungutan tidak restni juga liarus dihilangkan.
e. Pemerintah lndonesia dituntut untuk dapat memiliki kemampuan merealisasikan apa yang telah disepakati dan diperjanjikan antara negara-negara anggota ASEAN ke dalam kebijakan dan peraturan per-Undang-Undangan nasional .
Dari apa yang telah diuraikan tersebut diatas, maka pembaharuan Hukum lnvestasi lndonesia dalam rangka AFTA harus memberikan prioritas pada materi-materi Hukum yang berkaitan langsung dengan konsepkonsep yang terdapat dalam AFT. Melalui CEPT, dimana Hukum lnvestasi yang berlaku di lndonesia harus menjadi semakin tcrbuka.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Bahwa, dalam kerangka AFTA Penmerinlah Republik Indonesia perlu segera melakukan suatu pembahasan terhadap ketentuan-ketentuan dibidang Perpajakan dan Hukum Investasi secara menyeluruh. Sehingga dapat memberikan jaminan dan kepastian Hukum bagi investor asing, khususnya investor yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN.
2. Bahwa, dalam kerangka AFTA, para pelaku usaha di Indonesia untuk dapat disejajarkan dengan pelaku usaha dari negara anggota ASEAN lainnya. Pengusaha Indonesia masih berharap adanya intervensi darl pemerintah untuk melindungi mereka dari ancaman pelaku usaha luar negeri. Karena daya saing mereka masih rendah, belum lagi mereka masih tersedot perhatiannya terhadap pasar dalam negeri, sehingga para pelaku usaha Indonesia belum banyak memiliki sikap Outward Looking di tingkat ASEAN dan bahkan pengalaman bersaing di pasar luar negeri belum setara dengan pelaku usaha negara anggota ASEAN lainnya. Mereka bahkan meminta kepada perintah untuk menunda berlakunya AFTA.
DAFTAR PUSTAKA
_____J.D.N. Hart, The Rule of Law in Economic Developnzent dnlam Erman Rajcgukguk, peranan Hukum dalam Pembangitnan Ekonomi, Jakarta. UI. 1095.
_____Jwana Hikmananto, AFTA dalam Koiiteks Hukum EkonomiInternnsional, Jurnal Hukum Bisnis, Edisi 22, Jakarta, 2003.
_____Katadjoemana, GATT don WTO, Jakarta, 111 I’rcss, 1996.
_____Maman. Suerahman, Ade, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global,Jakarta. Ghalia Indonesia, 2001.
_____Mi yasto, Sistem Perpajakan Nasional dalam Era Ekonomi Global,Pidoto Pengukuhan GuruBesar cloloni Ilmzr Ekonomi, Semarang. IT. U.DIP, 1997.
_____Rahardjo. Satjipto. Hukum dalam Pembaharuan Sosial, Bandung,Alumni, 1993.
Sumber : http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/EdOkt046986.pdf
PENGERTIAN HUKUM DAN HUKUM EKONOMI
REVIEW JURNAL HUKUM DAN HUKUM EKONOMI
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05
Judul: komparasi berbagai aliran hukum dan ekonomi: suatu kajian filsafat hukum
Pengarang: Erlyn Indri
Keyword : Filasafat Hukum, Hukum dan Ekonomi
ABSTRAK
Secara umum, kelahiran dan pertumbuhan hukum dan ekonomi didasarkan pada kontribusi yang diberikan oleh bagian hukum dan sisi ekonomi hukum dan ekonomi.sebagai perubahan menyapu tatanan masyarakat ilmiah bagian hukum dan ekonomi transformasi saksi signifikan dalam proses pembentukan,pemahaman,struktur dan institusi hukum memproduksi cukup banyak sekolah penelitian pengalaman di bidang filsafat hukum yang inti dari penelitian ini adalah perbandingan antara sekolah berbagai pengalaman perbandingan seperti itu akan memiliki kompetensi untuk mempersempit atau bahkan menjembatani kesenjangan antara sekolah bersaing pikiran dan meningkatkan upaya untuk menyelesaikan kompleksitas masalah hukum, dalam hukum dan ekonomi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penelitian ini ditujukan untuk menyediakan bagi para pelajar hukum semacam overview atau sinopsis yang bersifat deskriptif non-critical tentang kontur maupun unsur-unsur inti dari visi filosofi hukum beraneka aliran yang memberikan kontribusinya bagi pengembangan bidang kajian hukum dan ekonomi. Penelitian ini merupakan ulasan selayang pandang mengenai apa saja yang coba disodorkan oleh masing-masing school of thought di-maksud.
Tinjauan Pustaka
Dalam 4 dekadebelakang ini hukum dan ekonomi mulai bertunas sebagai kajian yang terpisah dan tersendiri. Cukup mengherankan interaksi yang begitu nyata antara hukum dan ekonomi membutuhkan watu yang cukup lama untuk mendapatkan pengakuan yang semestinya. Salah satu sumbangan awal dari ilmu hukum bagi pengembangan kajian hukum dan ekonomi berasal dari apa yang lazim disebut dengan Common Law. Kehadirannya merupakan buah dari reaksi terhadap pendekatan metafisikal terhadap hukum yang diusung oleh aliran filsafat hukum legal theology maupun kecenderungan sekular-positiv dari metoda elmu alam yang dikandung Natural Law. Common Law tidak terdiri dari keputusan-keputusan tertentu seperti peraturan, doktrin, atau prosedur, melainkan semacam gagsan yang tidak dapat begitu saja di sistematisasi, namun nyata adanya terjalin dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Menurut Doctrinalism, hukum semestinya dipahami apa adanya sebagai hukum itu sendiri, tanpa harus merujuk kepada prinsip-prinsip religi, metafisika, ataupun sosial-ekonomi. Hukum disini dilihat sebagai serangkaian doktrin yang termaktub di dalam kasus-kasus hukum yang dari waktu ke waktu akan terungkap dan dapat dibedakan dari sekedar ‘pendapat huku’ melalui kajian ilmiah induktif secara hati-hati dan rinci terhadap kasus-kasus tersebut.
PROSES
Penelitian ini pada dasarnya meliputi beberapa tahapan atau fase. Istilah ‘metode penelitian’ tidak digunakan disini. Penelitian ini berlangsung dalam 5 fase yakni, penetapan tradisi, pencanangan paradigma, penerapan strategi, pengumpulan data, serta interpretasi, komparasi dan presentasi.
TRADISI
Penelitian ini mengikuti tradisi penelitian kualitatif, yaitu mengutamakan penghayatan dalam memahami, mengkritisi dan menafsirkan persoalan sesuai dengan paradigma yang dianut oleh peneliti. Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif mengenai filosofi hukum.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan Kajian Literatur. Data penelitian diperoleh dari interaksi antara peneliti dengan para pemikir dan pakar hukum
PEMBAHASAN
1. Chicago School Law and Economic
Hukum dan ekonomi bermula dari pemikiran Adam Smith atau Jeremy Bentham. Chicago School atau disebut juga sebagai Law and Economic School of Jurisprudential Thought adalah Richard Posner seorang profesor, cenddekiawan sekaligus hakim. Menurutnya, arti kedua dari ‘keadilan’ yang paling umum dapat dikatakan adalah efisiensi. Dalam kaitannya, suatu tindakan yang dikatakan ‘tidak adil’ dengan demikian dapat di interpretasikan sebagai suatu tindakan yang menyia-nyiakan sumber daya. Menurut Aliran Hukum dan Ekonomi Chicago tujuan sentral dari pengamilan eputusan hukum semestinya adalah memajukan efisiensi pasar.
Aliran Chicago merasuki antara lain hukum antitrust, hukum tort, hukum kontrak dan hukum lingkungan, keseluruhannya kebanyakan dalam konteks common law. Secara umum aplikasi pemikiran Aliran Chicago dapat dikelompokan menjadi:
-Hukum & Ekonomi Positif: Aliran Hukum dan Ekonomi Positif melakukan analisa efisiensi terhadap common law
-Hukum & Ekonomi Normatif: Aliran Hukum dan Ekonomi Normatif mempelajari dimana kah common law menyimpang dari doktrin efisiensi ekonomi.
2. Public Choice Theory
Public choice theory didefinisikan sebagai analisa terhadap pengambila keputusan yang tidak berkenaan dengan pasar yang telah ada sejak akhir tahun 1940-an oleh para akademis di bidang public finance. Hal ini kemudian berlanjut hingga pertengahan tahun 1950-an manakala mereka melepaskan diri dari kajian kebijakan pemerintah tentang perpajakan dan pengeluaran/belanja. Rangkaian proses ini akhirnya berkulminasi pada karya Duncan Black and Anthony Downs.
Ekonomi sejati tidak hanya berkaitan dengan pasar, sehingga pengambilan keputusan ekonomi semestinya tidak di reduksi menjadi semata-mata pengambilan keputusan terkait dengan pasar.
3. Institutional Law and Economic
Pendekatan institusional terhadap hukum dan ekonomi berakar pada berbagai bidang kajian diantaranya:
- Ekonomi dan jurisprudence (Henry C. Adams 1954)
- Hubungan antara properti dan kontrak dengan distribusi kekayaan (Richard T. Elly 1941)
- Dasar-dasar hukum dari sistem ekonomi (John R. Commons 1924, 1925)
- Peran sistem harga dan posisinya di dalam ekonomi modern (Wesley C. Mitchell 1927)
Instituisi Law and Economics menuntut pendekatan interdisciplinary antara lain psikologi, sosiologi, antropologi, behavioral science, ekonomi dan hukum. Instituisi Law and Economics menolak asumsi-asumsi preferensi tetap. Pendekatan Instituisi Law and Economics sama sekali tidak membedakan diantara perlakuan, misalnya jurisprudensial, legislatif, birokratik atau regulatori. Semuanya itu merupakan manifestasi dari interelasi antara pemerintah dan ekonomi maupun proses hukum dan proses ekonomi dengan segala institusinya.
KESIMPULAN
Perbedaan yang ada diantara berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi dapat terjembatani dan persoalan hukum pun dapat menemukan jalan keluarnya. Pemahaman yang benar terhadap visi filosofi hukum akan dapat memecahkan persoalan hukum atau persoalan ekonomi yang kian kompleks dan mendudukan pada tempatnya.
REFERENSI
SUBYEK DAN OBYEK HUKUM
REVIEW JURNAL SUBYEK DAN OBYEK HUKUM
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05
Abstrak
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05
Abstrak
Penelitian bermaksud untuk mengetahui apakah hukum
internasional merupakan suatu hukum yang sesungguhnya.Mengapa masyarakat
internasional mau mentaati hukum internasional meskipun hukum internasional
sangat kekurangan akan institusi-institusi formal yang bertugas menegakkan
hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, jenis data yang
digunakan adalah data sekunder dengan
dengan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian. Melalui hasil
pemelitian ini dapat disimpulkna bahwa, Sifat hubungan yang koordinatif dalam
masyarakat internasional, tidak adanya badan supranasional yang memiliki
kewenangan membuat sekaligus memaksakan berlakunya suatu aturan hukum
internasional kepada anggota masyarakat bangsa-bangsa yang melanggar hukum internasional
tidak mengurangi eksistensi dan hakekat hukum internasional sebagai suatu norma
hukum. Faktor paling utama yang memunculkan penerimaan dan ketaatan masyarakat
internasional pada aturan hukum internasional adalah adanya kesadaran dan
kebutuhan bersama akan aturan hukum yang bisa memberikan ketertiban, keadilan,
dan kepastian hukum mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh
dilakukan dalam praktek hubungan internasional. Ketaatan yang munculnya secara
internal ini hasilnya akan jauh lebih baik daripada ketaatan yang dipicu hanya
oleh ketakuatan akan datangnya sanksi.
Kata kunci:
Ketaatan, hukum internasional, filsafat hukum406 JURNAL HUKUM
Pendahuluan
Tidak sebagaimana sistem hukum nasional yang memiliki
lembaga-lembaga formal seperti badan legislatif, polisi, jaksa, kepala-kepala
pemerintahan baik di pusat maupun daerah (eksekutif) serta pengadilan yang
memiliki yurisdiksi wajib kepada penduduknya, sistem hukum internasional tidak
memiliki semuanya itu.
Hukum internasional tidak memiliki badan legislatif pembuat
aturan hukum, tidak memiliki polisi, jaksa, kepala pemerintahan sebagai
eksekutif bahkan juga tidak memiliki pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib
terhadap negara yang melakukan pelanggaran hukum internasional. Hukum
internasional sangatlah kekurangan institusi-institusi formal, demikian menurut
Martin Dixon.
1. Dengan
demikian tidaklah mengherankan karenanya bila banyak pihak yang meragukan eksistensi
hukum internasional. Hukum internasional dikatakan bukan sebagai hokum
sesungguhnya. Menurut John Austin sebagaimana dikutip oleh Scwarzenberger,
hukum internasional hanya layak untuk dikategorikan sebagai positive morality
saja karena tidak memiliki badan legislatif dan sanksinya tidak bisa dipaksakan.
2. Banyak
pihak mengamini pendapat ini apalagi realitas menunjukkan banyaknya pelanggaran
hukum internasional dilakukan seperti oleh Amerika Serikat, juga Israel tidak
pernah ada sanksi. Apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang
sesungguhnya? Bagaimana hukum ini bekerja, mengapa masyarakat internasional mau
mentaatinya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sangat menarik untuk diteliti
dan dianalisis secara mendalam melalui filsafat hukum. Dengan menganalisa semua
itu dari perspektif filsafat hukum maka diharapkan akan diperoleh pemahaman
seluasluasnya juga sedalam-dalamnya, seakar-akarnya tentang hukum
internasional.
Beberapa manfaat menganalisa melalui filsafat hukum antara lain:
1. Dapat
membawa para ahli hukum melihat jauh ke depan. Lebih menyadarkan para ahli hukum
dalam kebijaksanaan hukumnya, mereka akan selalu menyesuaikan kebijaksanaan itu
dengan keperluan-keperluan social yang aktual, dan menghindarkan sebanyak
mungkin pemujaan terhadap hal-hal yang silam.
2. Membawa
para ahli hukum dari cara berfikir hukum secara formal ke realitas sosial. Sebagai
contoh dapat dikemukakan dalam menerapkan hukum perjanjian para ahli hukum juga
memerlukan pengetahuan-pengetahan lain di bidnag ekonomi, kriminalogi, pidana,
perikatan, sosiologi dan lain sebagainya.
3. Dapat
menyatukan atau menyarankan penggunaan konsep-konsep dasar yang sama guna
mendasari berbagai faktor sosial dan membuka jalan bagi penyelesaian beraneka
ragam masalah soaial dengan hanya menggunakan satu teknik. Dengan demikian
kompleksitas hukum dapat lebih dikendalikan dan lebih rasional, dimana teori
dapat membantu dalam ptaktek.
4. Dengan
penalaran konsep-konsep hukum akan mempertajam teknik yang dimiliki para ahli
hukum itu sendiri.
Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas maka permasalahan yang akan
dianalisis dalam tulisan ini adalah Pertama, apakah hukum internasional
merupakan suatu hokum yang sesungguhnya? Kedua, mengapa masyarakat
internasional mau mentaati hokum internasional meskipun hukum internasional
sangat kekurangan akan institusiinstitusi formal yang bertugas menegakkan
hukum?
Tujuan Penelitian
Untuk memahami dan menganalisis hakekat hukum internasional
serta memahami mengapa masyarakat internasional mau mentaati hukum
internasional meskipun hukum internasional sangat kekurangan akan
institusi-institusi formal yang bertugas menegakkan hukum.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, jenis
data yang digunakan adalah data sekunder dengan
dengan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian, tulisan dan
pendapat para pakar hukum internasional. Pengakuan, penerimaan dan praktek
masyarakat internasional memperlakukan hokum internasional dalam sistem hukum
nasional maupun dalam hubungan internasional.
Hasil Penelitian dan
Pembahasan Hakekat Hukum Internasional
Menurut Austin
Hukum internasional
bukanlah hukum yang sesungguhnya karena
untuk dikatakan sebagai hukum menurut Austin harus memenuhi dua unsure yaitu ada badan legislatif pembentuk
aturan serta bahwa aturan tersebut dapat
dipaksakan. Austin tidak menemukan kedua unsure ini dalam diri hokum internasional sehingga ia
berkesimpulan bahwa hukum internasional belum dapat dikatakan sebagai hukum, baru sekedar positif morality saja.
Mencermati pendapat Austin nampak
bahwa Austin melihat hukum dari kacamata yang sangat sempit.
Menurut Austin hukum identik dengan undang-undang, perintah
dari penguasa (badan legislatif). Dalam analisis modern pendapat Austin ini
tidak tepat lagi sebab akan menghilangkan fungsi pengadilan sebagai salah satu
badan pembentuk hukum. Di samping itu Austin juga mengabaikan bila dalam
masyarakat ada hukum yang hidup, yang keberadaannya tidak ditentukan oleh
adanya badan yang berwenang (badan legislatif) atau penguasa seperti hukum adat
atau hukum kebiasaan.
Berbeda pendapat dengan Austin, Oppenheim pakar hukum yang lain mengemukakan bahwa hukum
internasional adalah hukum yang sesungguhnya (really law).
Ada tiga syarat
yang harus dipenuhi untuk dikatakan sebagai hukum menurut Oppenheim. Ketiga
syarat yang dimaksud adalah adanya aturan hukum, adanya masyarakat, serta
adanya jaminan pelaksanaan dari luar (external power) atas aturan tersebut.
Syarat pertama
dapat dengan mudah ditemukan yaitu dengan banyaknya aturan hukum internasional
dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti Konvensi Hukum Laut PBB 1982 ,
Perjanjian internaional tentang bulan dan benda-benda langit lainnya (Space
Treaty 1967), Konvensi mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, berbagai
konvensi internasional tentang HAM, tentang perdagangan internasional, tentang
lingkungan internasional, tentang perang, dan lain-lain. Dapat dikatakan sulit kita
menemukan aspek kehidupan yang belum diatur oleh Hukum internasional.
Syarat kedua
adanya masyarakat internasional juga terpenuhi
menurut Oppenheim. Masyarakat internasional tersebut adalah
negara-negara dalam lingkup bilateral, trilateral, regional maupun universal.
Adapun syarat ketiga
adanya jaminan pelaksanaan juga terpenuhi menurut Oppenheim. Jaminan pelaksanaan
dapat berupa sanksi yang datang dari negara lain, organisasi internasional
ataupun pengadilan internasional. Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan
permintaan maaf (satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary), serta pemulihan
keadaan pada kondisi semula (repartition). Disamping itu ada pula sanksi yang
wujudnya kekerasan seperti pemutusan hubungan diplomatik, embargo, pembalasan,
sampai ke perang .
Meskipun menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum
yang sesungguhnya bukan hanya sekedar moral, Oppenheim mengakui bahwa hokum internasional
adalah hukum yang lemah (weak law). Hukum internasional lemah dalam hal
penegakan hukumnya bukan validitasnya. Hukum internasional terkadang sangat
primitif dan tebang pilih.
Hukum dan sanksi hanya dikenakan
Terhadap negara-negara kecil yang tidak atau kurang memiliki
power juga pengaruh di lingkugan masyarakat internasional. Ketika Irak
menginvasi Kuwait 1990-1991 hukum internasional sangatlah keras terhadapnya.
Masyarakat internasional menyatakan bahwa tindakan tersebut unlawful bukan
immoral atau unacceptable Berbagai sanksi dijatuhkan pada Irak, bahkan penjatuhan
sanksi itu justru yang melanggar hukum internasional karena tidak ada kejelasan
sampai kapan sanksi akan berlangsung. Lebih dari itu sanksi sangat mencampuri
urusan dalam negeri Irak dan mencabut hak-hak Irak untuk mengembangkan diri.
Demikian halnya dengan Iran, meskipun belum ada bukti bahwa Iran mengembangkan
senjata pemusnah masal dan menurut Iran apa yang dilakukkannya hanya untuk
tujuan damai dan pengembangan ilmu pengetahuan tapi berbagai macam sanksi sudah
diterapkan tehadap Iran. Senada dengan Oppenheim, para pakar
hukum int e rnas ional mode rn menyatakan bahwa hukum internasional
adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar moral.Mayoritas masyarakat
internasional mengakui adanya aturan hukum yang mengikat mereka.
Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000 banyak mengadopsi
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, UU Nomor 39 Tahun 1999 banyak
mengadopsi Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik.
Masalah penegakan
Hukum yang lemah harus dipisahkan dengan masalah eksistensi
HI itu sendiri. Eksistensi HI tidak tergantung pada banyak sedikitnya
pelanggaran, ada tidaknya lembaga-lembaga tertentu juga ada tidaknya sanksi, tetapi
lebih ditentukan oleh sikap pelaku hukum dalam masyarakat internasional itu sendiri.
Dasar Kekuatan
Mengikat Hukum Internasional
Sebagaimana dikemukakan di atas dalam Hukum Internasional
tidak ada badan supranasional yang memiliki otoritas membuat dan memaksakan
suatu aturan internasional, tidak ada aparat penegak hukum yang berwenang
menindak langsung negara yang melanggar hukum internasional, serta hubungannya
dilandasi hubungan yang koordinatif bukan sub-ordinatif. Namun demikian
ternyata di dalam prakt ik masyarakat
internasional mau menerima
HI sebagai hukum yang sesungguhnya bukan hanya sebagai
moral positif saja. Hakikat hukum internasional adalah sebagai hukum yang
sesungguhnya. Jumlah pelanggaran yang terjadi jauh lebih kecil daripada
ketaatan yang ada. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan lebih lanjut apa yang
menjadikan masyarakat internasional mau menerima HI sebagai hukum? Dari mana HI
memperoleh dasar kekuatan mengikat?
Hukum internasional (jus gentium) dipandang sebagai bagian
dari hukum alam, datangnya dari Tuhan sehingga berlaku untuk seluruh manusia.
Hukum Internasional mengikat karena hukum ini merupakan bagian dari hukum alam
yang diterapkan pada masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa negara-negara mau terikat pada HI karena hubungan-hubungan mereka diatur
oleh hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang
datang dari alam dan diturunkan pada manusia lewat ratio atau akalnya. Gaius,
pakar di era Romawi kuno menyebutkan jus gentium sebagai law :commom to all men’.
Dengan demikian hukum internasional bersifat universal. Hal senada dikemukakan
oleh Sudjito bahwa dasar dari hukum ini adalah alam. Inti alam terletak pada
akal. Akal tertinggi ada pada Tuhan, bersifat abadi dan universal. Ketaatan
masyarakat internasional pada
Hukum menurut aliran
ini tidak diciptakan melainkan ditemukan di alam. Apa yang dikemukakan aliran
ini ternyata belum dirasa memuaskan karena sangat abstrak dan belum menjawab
inti pertanyaan mengapa masyarakat internasional mau terikat pada HI. Meskipun
demikian aliran ini banyak memberikan sumbangan pada perkembangan HI terutama
pada nilai-nilai keadilan (justice).
Sebagaimanan dikemukakan aliran hukum positif, dasar
kekuatan mengikatnya HI adalah kehendak negara. Meskipun lebih konkrit
dibandingkan apa yang dikemukakan aliran hukum alam namun apa yang dikemukakan
aliran inipun memiliki kelemahan yakni bahwa tidak semua HI memperoleh kekuatan
mengikat karena kehendak negara. Banyak sekali aturan HI yang berstatus hukum
kebiasaan internasional ataupun prinsip hukum umum yang sudah ada sebelum
lahirnya suatu negara. Tanpa pernah memberikan pernyataan kehendaknya setuju
atau tidak setuju terhadap aturan tersebut, negara-negara yang baru lahir
tersebut akan terikat pada aturan internasional itu.
Pasca perang dunia pemikiran ketaatan pada HI semakin
berkembang. James Brierly ahli hukum internasional menyatakan mengapa negara
taat pada HI adalah untuk menjaga reputasi masing-masing di tingkat
internasional serta tumbuhnya solidaritas untuk terciptanya ketertiban dan
perdamaian dunia.
Pasca perang dunia kedua organisasi internasional tumbuh
bagaikan cendawan di musim hujan. Keberadaan mereka sedikit banyak mempengaruhi
ketaatan negara pada Hukum Internasional. Dalam pandangan Brierly ketaatan itu
karena solidaritas dan legitimasi yang lahir dari organisasi internasional.
Menurut aliran sosiologis, masyarakat bangsa-bangsa selaku
makhluk social selalu membutuhkan interaksi satu dengan yang lain untuk
memenuhi kebutuhannya. Betapapun majunya suatu negara tidak akan dapat hidup
sendiri. Dalam berinteraksi tersebut masyarakat internasional membutuhkan
aturan hukum untuk member kepastian hukum pada apa yang mereka lakukan. Pada
akhirnya dari aturan tersebut masyarakat internasional akan merasakan ketertiban,
keteraturan, keadilan, dan kedamaian. Demikianlah menurut aliran ini dasar
kekuatan mengikatnya HI adalah kepentingan dan kebutuhan bersama akan ketertiban
dan kepastian hukum dalam melaksanakan hubungan internasional. Kebutuhan ini
menjadikan masyarakat internasional mau tunduk dan mengikatkan diri pada HI.
Faktor kebutuhan lebih penting daripada faktor ada tidaknya aparat penegak
hukum, ada tidaknya lembagalembaga formal serta ada tidaknya sanksi.
Ketaatan yang
bersifat compliance, yaitu:
Jika subyek hukum menaati suatu aturan, hanya karena takut
akan sanksi. Kelemahan jenis ketaatan ini adalah diperlukannya pengawasan secara
ketat dan terus-menerus
Ketaatan yang
bersifat identification, yaitu:
Jika subyek hukum menaatai
suatu aturan karena kekhawatiran hubungan baiknya dengan pihak lain akan rusak
atau terganggu jika ia tidak menaati aturan tersebut.
Ketaatan yang bersifat
internalization, yaitu:
Jika subyek hukum
menaati sutu aturan benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan
nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Di dalam praktek subyek hukum menaati
aturan bisa hanya karena salah satu alasan saja, akan tetapi bisa terjadi
ketaataan itu meliputi ketiga macam yang tersebut di atas. Jadi subyek hukum
menaati aturan tidak hanya takut akan sanksi tapi juga takut hubungan baiknya
dengan pihak lain akan terganggu sekaligus memang kesadaran bahwa subyek hukum
membutuhkan aturan itu dan cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.
Menilai ketaatan subyek hukum terhadap suatu aturan hukum tentu tidak cukup
hanya melihat dari sisi jumlah yang mentaati tetapi untuk lebih menekankan pada
kualitas keefektifan perlu dilihat alas an ketaatan tersebut. Ketaatan yang
bersifat compliance kualitasnya lebih
rendah dibandingkan dengan yang bersifat identification, terlebih lagi bila dibandingkan
dengan yang bersifat internalization.
Ada 4 faktor yang menentukan apakah negara akan taat pada
hukum internasional atau tidak. Ke-4 faktor tersebut adalah determinacy, symbolic
validation, coherence dan adherence. Franck menyatakan 4 faktor tersebut akan
menekan negara untuk taat pada hukum internasional. Namun demikian, Franck
dengan teori legitimasinya tidak mampu memberi jawaban memuaskan mengapa negara
harus memperdulikan legitimasi. Sebagai contoh dikemukakan ketika negara
melanggar aturan hokum internasional dengan alasan aturan tersebut kurang
legitimasinya maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah mengapa negara harus
menghormati aturan yang dikatakan ada legitimasinya sebaliknya mengabaikan yang
lain?
Kelemahan Hukum
Internasional
Sebagaimana dipaparkan di atas HI diakui oleh masyarakat
internasional sebagai hukum yang sebenarnya dan dipatuhi sebagaimana layaknya
suatu aturan hukum karena faktor-faktor berikut:
a) Kebutuhan dan
kepentingan bersama akan jaminan kepastian hukum dan ketertiban dalam melakukan
hubungan internasional
b) Biaya-biaya
politik dan ekonomi yang harus dibayar jika melanggar HI, seperti hilangnya
kepercayaan dari pihak asing, dihapuskannya berbagai bantuan dan fasilitas dari
pihak asing, dikucilkan dari pergaulan internasional, dicabut keanggotaannya
dari suatu organisasi internasional
c) Sanksi-sanksi
yang dijatuhkan oleh negara lain, organisasi internasional dan pengadilan
d) Faktor
psikologis takut dikecam atau dikutuk oleh pihak lain (pschological force)
jika melanggar HI. Meskipun HI bisa bekerja namun demikian ada beberapa faktor yang menjadikan HI sebagai hukum yang lemah.
Beberapa faktor
dimaksud adalah:
- Kurangnya
institusi-institusi formal penegak hukum: a. tidaknya polisi yang senantiasa
mengawasi dan menindak pelanggar HI
- Meskipun ada jaksa
dan hakim di pengadilan internasional namun mereka tidak memiliki otoritas
memaksa Negara pelanggar secara langsung sebagaimana yang umumnya terjadi di
pengadilan nasional
- Tidak adanya pengadilan internasional yang memiliki
yurisdiksi wajib
Penutup
Berdasarkan kajian di atas, dapat disimpulkan, Pertama,
hukum internasional merupakan hukum yang sesungguhnya, hukum yang hidup dan
berlaku ditengahtengah masyarakat internasional. Kedua, faktor paling utama
yang memunculkan ketaatan masyarakat internasional pada aturan hukum
internasional adalah adanya kesadaran dan kebutuhan bersama akan aturan hukum
yang bisa memberikan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum mana yang boleh
dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam praktek hubungan
internasional. Ketaatan yang munculnya secara internal ini hasilnya akan jauh
lebih baik daripada ketaatan yang dipicu hanya oleh ketakutan akan datangnya
sanksi. Ketiga, meskipun demikian disadari dan diakui pula bahwa faktor-faktor
seperti takut akan sanksi, faktor psikologis, juga takut kehilangan berbagai
keuntungan dalam hubungan internasional, rasa solidaritas dan legitimasi juga
cukup berpengaruh pada ketaatan tersebut.
Daftar Pustaka
Ali, Ahmad, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teori
Peradilan (judicial prudence)
termasuk interpretasi undang-undang (legisprudence), Vol I,
Pemahaman Awal,
Prenadamedia Group, 2009.
Burgstaller, Markus, Theories of Compliance with
International Law: Developments in
International Law, Volume 52, Martinus Nijhoff Publishers
and VSP, 2005.
Carty, Anthony, Philosophy of International Law, Edinburgh
University Press, 2007.
Chayes, Abram and Antonia Handler Chayes, The New
Sovereignty: Compliance with
International Regulatory Agreements, Cambridge, Harvard,
University Press,
1995.
Dixon, Martin, Texbook on International Law, Blackstone
Press Limited, fourth edition,
2001.
Fitzmaurice, Gerald, The Foundations of the Authority of
International Law and the Problem
of Enforcement, 19 Mod. L. Rev. 1, 1956.Sefriani. Ketaatan
Masyarakat... 427
Hongju Koh, Harold, “Why do Nations Obey International Law”
, Yale Law Journal ,
106 Yale L.J. 2599, 1997.
Istanto, Sugeng, Hukum Internasional, Penerbitan Atma Jaya
Yogyakarta, Cetakan
kedua, 1998.
Juwana, Hikmahanto, Hukum Internasional Dalam Perspektif
Negara Berkembang,
Penataran Singkat pengembangan bahan Ajar Hukum
Internasional, Bagian
Hukum Internaisonal FH Undip, Semarang, 6-8 Juni 2006.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional,
Bagian I, Bina Cipta,
Bandung, 1982.
M Franck, Thomas, Fairness in International Law and
Institutions, Oxford, Clarendon
Press, 1995.
Parthiana, Wayan, Pengantar Hukum Internasional , Mandar
Maju, Bandung, 1990.
Purwanto, Harry, “Kajian Filosofis terhadap Eksistensi Hukum
Internasional”, dalam
Mimbar Hukum , Majalah FH UGM , No 44/VI/2003.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat
Hukum, Mandar Maju , Bandung,
Cetakan ke-3, 2002.
Scwarzenberger, International Law and Order, Martinus
Nijhoff Publishers, Haque/
Boston/London, 1994.
T. Guzman, Andrew,”A Compliance-Based Theory of International
Law “, California Law
Review , 90 Cal. L.Rev.1823, 2002.
______, How International Law Works a Rational Choice
Theory, Oxford University Press,
2008.
Sumber:
Sabtu, 02 Juni 2012
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
REVIEW JURNAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05
SISTEM HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Oleh: Syafrinaldi
ABSTRAK
Kekayaan intelektual yang resmi memainkan peranan penting dalam mempromosikan pembangunan ekonomi. Kekayan intelektual yang resmi mengikuti wuilayah eropa dan sekitarnya, namun rezim dari kekayaan intelectual terus berkembang sampai ke seluruh dunia.
PENDAHULUAN
Kekayaan Intelektual atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Hak Milik Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR) atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya. Istilah atau terminologi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya. Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual.
Setiap negara rnemiliki system hukum masing-masing. lndonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda dikenal sebagai negara yang rnenganut sistem hukum Eropa Kontinental atau juga disebut dengan European Continental Legal System. Sedangkan sistem hukum Anglo Saxon atau disebut juga dengan Common Law System dianut oleh negara lnggris dan negara-negara bekas jajahan lnggris. Diskursus rnengenai suatu bidang ilmu hukum secara khusus, seperti hukum hak kekayaan intelektual (HKI), rnaka bidang hukum yang relative masih baru di Negara lndonesia juga memiliki sistem hukum tersendiri yang tujuannya adalah memberikan perlindungan (legalprotection) kepada karya intelektual manusia, baik itu dalam bidang hak cipta dan hak-hak terkait,paten, rnerek, perlindungan varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Dalam bidang hak kekayaan intelektual, sistem hukum yang berkembang di masing-masing Negara, termasuk juga di lndonesia, sangat dipengaruhi oleh hukum internasional dan juga oleh hukum Negara Negara-negara lain. Hal ini tidak bisa dinafikan, karena bagaimanapun juga sistem hukum internasional yang mengatur mengenai hak kekayaan intelektual lebih duluan lahir dan berkembang secara dinamis dan progesif dibandingkan dengan hukum nasional.
PEMBAHASAN
HKI dalam Hukum lnternasional
Apabila kita berbicara rnengenai hak kekayaan intelektual dari kacarnata hukum internasional, maka pertamatama kita akan melihat kepada hukum perjanjian internasional yang pertama.
Paris convention tanggal 20 Maret 1883 tentang “ the protection of Industrial Property merupakan kaidah hukum internasional tertua dalam bidang HKI.
Pada tahun 1886 negara-negara sebagai international community telah menyetujui juga suatu ketentuan hukum internasional dalam bidang hak cipta dan hak-hak terkait yang dibingkai dalam “Berne Convention For The Protection Of Literary and Artistic Works”.
Sebagai bentuk action keseriusan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation) dalam menangani persoalan HKI ini,pada tanggal 14 Juli 1967 disetuji perjanjian internasional tentang pembentukan World Intellectual Property Organisation (WIPO) di Stockholm,Swedia.PBB bertanggung jawab atas perkembangan dan kemajuan HKI di seantero dunia.
HKI dalam Hukum Nasional
Ketentuan perundang-undangan yang pernah berlaku dan masih berlaku di Indonesia yang sangan relevan dengan pengakuan dan perlindungan HKI:
1. Konstitusi RIS 1949
Pasal 8 konstitusi RIS menyebutkan “Sekalian orang yang ada didaerah Negara sama berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta bendanya”.
Pasal 38 konstitusi RIS “Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan menjunjung asas ini, maka penguasa memajukan sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebudayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan”.
2. UUDS 1950
Ketentuan tentang HKI terdapat dalam Pasal 8, pasal 19,pasal 26 ayat 1 dan 2,pasal 28 aya 1 dan 2.
3. UUD 1945 (Setelah amandemen)
Pasal 28 : “Kernerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
4. Bab XA Tentang HAM (Hasil amandemen tahun 2000)
Pasal 28A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal28C ayat (I)Se:ti ap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal28C ayat (2): Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalarn memperjuangkan haknya secara kolektif untukmembangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal28E ayat (3): Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Pasal28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,, memperoleh, memiliki, menyimpan,mengolah, dan rnenyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal28G ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehomatan,.martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal28H ayat (4): Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
5. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
Ketentuan tentang HKI terdapat dalam Pasal 36 ayat 1,pasal 36 ayat 2,pasal 36 ayat 3, dan pasal 38 ayat 1.
Berdasarkan kepada beberapa ketentuan hukum dasar tertulis dan hukum internasional tersebut diatas telah menciptakan sistem hukum dalarn bidang hak kekayaan intelektual di Indonesia dengan lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan secara bertahap. Secara kronologis peraturan perundang-undangan itu adalah UU No. 21 Tahun 1961 tentang Merek; UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta jo. UU No. 711987 jo. UU No. 1211997; Kernudian diganti dengan UU No. 191 2002; UU No. 8 Tahun 1989 tentang Paten jo. UU No. 131 1997; kernudian diganti dengan UU No. 1412001; UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek jo. UU No. 141 1997; kernudian diganti dengan UU No. 1512001 ; UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang; UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri; UU No 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu; UU No. 5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Persoalan HKI di Indonesia
Ada beberapa persoalan yang rmasih dihadapi lndonesia dalam bidang hak kekayaan intelektual : pertama, Jumlah paten dormestik yang masih rendah.
Kedua, diseminasi hak kekayaan intelektual di tengah-tengah masyarakat lndonesia masih lemah dan belum terkoordinir dengan baik. Hingga kini, masih banyak akademisi yang belum biasa membedakan antara hak cipta, paten dan merek. Ketiga, law eforcement yang rnasih semrawut.
Sesungguhnya banyak sudah negara-negara yang dulunya tergolong ke dalam kelompok negara berkembang bersama lndonesia, sekarang ini mereka sudah jauh maju meninggalkan kita dalam bidang teknologi dan ekonomi. Mereka merupakan negaranegara yang progresif dalam penghasilan karya-karya intelektual, seperti hak cipta, paten dan merek. Sebaliknya, lndonesia masih saja bertahan sebagai negara yang paling minim dalam hal invensi dan maksimal dalam hal pembajakan hak cipta dan pemalsuan merek serta pelanggaran bidangbidang lainnya ruang lingkup hak kekayaan intelektual. Kondisi yang demikian diperparah lagi oleh virus korupsi yang semakin mengganas menggerogoti ekonomi negara.
PENUTUP
Paradigma pembangunan neqara lndonesia harus dirubah agar lepas dari persoalan ketertiggalan ekonomi dan teknologi ini. Adalah suatu kenyataan, bahwa banyaknya sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu bangsa tidak bisa menjamin atau memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sebaliknya, kekayaan alam itu telah menjadi salah satu sumber korupsi dalam berbagai bidang ekonomi di negara kita. Sejarah telah mencatat, bahwa banyak sudah negara menjadi Negara industri atau negara maju dikarenakan berkembang pesatnya hak kekayaan intelektual di negara tersebut, seperti Malaysia, Cina, India dan Korea Selatan. Bahkan di lingkungan ASEAN, lndonesia merupakan negara terkebelakang dalam bidang hak kekayaan intelektual dan ekonomi. Hak kekayaan intelektual sebagai tool for economic development and economic growth harus ditumbuhkan dalam setiap denyut nadi bangsa lndonesia agar bisa bangkit dan maju bersama dengan negara-negara lain yang telah meninggalkan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen HKI, Laporan Tahunan 2002. Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik lntelektual dalam Menghadapi Era Globalisasi. Pekanbaru: UIR Press, 2003.
Berne Convention 1886.
Konstitusi RIS 1949.
Paris Convention 1883.
TRIPS Agreement 1994.
Un~tedN ations Un~versaDl eclaration of
Human Rights, 1948.
UUD 1945.
UUDS 1950.
UU No. 14 Tahun 2001.
UU No. 15 Tahun 2001.
UU No. 19 Tahun 2002.
UU No. 29 Tahun 2000.
UU No. 30 Tahun 2000.
UU No. 31 Tahun 2000.
UU No. 32Tahun 2000.
World Intellectual Property Organization Agreement 1967.
SUMBER
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/41047883.pdf
HUKUM PERDATA
REVIEW JURNAL HUKUM PERDATA
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05
PEMERINTAH SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DALAM
KONTRAK PENGADAAN BARANG ATAU JASA
ABSTRACT
Dalam pembagiannya subjek hukum Perdata terdiri atas manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson). Tetapi dalam perkembangannya, ternyata pemerintah yang adalah lembaga publik dapat juga melakukan tindakan hukum perdata, hal ini dapt dibuktikan dengan terlibatnya pemerintah sebagai salah satu pihak dalam kontrak pengadaan barang atau jasa. Berdasarkan hasil penelusuran ternyata bahwa, ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, maka pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum bukan wakil dari jabatan, sehingga tindakan pemerintah tersebut adalah tindakan badan hukum.
A. LATAR BELAKANG.
Hukum dalam klasifikasinya terbagi atas hukum publik (hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau negara dengan warga negara) dan hukum privat (hukum yang mengatur hubungan antara satu orang dengan orang lain atau seubjek hukum lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan. Berdasarkan pengertiannya, maka subjek hukum perdata terdiri atas orang dan badan hukum.
Pemerintah melakukan tindakan bisnis dengan membeli barang atau jasa dalam rangka menjalankan fungsinya sehari-hari.
Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, tentunya pemerintah harus mengikuti prosedur pengadaan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.
Oleh karenanya agar prosedur pengadaan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya, maka hubungan hukum yang tercipta haruslah dibingkai dengan hukum yang dikenal dengan kontrak. dalam pasal 1 angka 22 Perpres 54 Tahun 2010 disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan kontrak adalah perjanjian tertulis antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)1 dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.
Kontrak adalah suatu perjanjian antara dua atau lebih pihak yang mempunyai nilai komersial tertentu yang didalamnya para pihak mengikatkan diri dalam subjek hukum (subjek hukum perdata).
B. PEMBAHASAN
1. Subjek Hukum perdata
Subjek Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid). Didalam berbagai literatur di kenal 2 (dua) macam subjek hukum yaitu manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson).
Menurut Rochmat Soemitro rechtperson adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang pribadi.4 Menurut Sri Soedewi Masjchoen sebagimana di kutip dari Salim H. S berpendapat bahwa yang di maksudkan dengan badan hukum adalah Kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan, berwujud himpunan, dan (2) harta kekayaan yang di sendirikan untuk tujuan tertentu, dan ini di kenal dengan yayasan. Dari kedua pendapat ini, maka jelas terlihat bahwa sebuah badan hukum selalu berkaitan dengan harta kekayaan, yang berada dalam ranah hukum privat.
2. Kedudukan Pemerintah
Dalam perspektif hukum publik negara adalah organisasi jabatan. Di antara jabatan-jabatan kenegaraan ini terdapat jabatan pemerintahan, yang menjadi objek hukum administrasi negara. Menurut P. Nicolai ada beberapa ciri yang terdapat pada jabatan atau organ pemerintahan yaitu:
1. (Organ pemerintahan menjalankan wewenang atas nama dan tanggungjawab sendiri, yang dalam pengertian moderen diletakkan sebagai pertanggungjawaban politik dan kepegawaian atau tanggungjawab pemerintah sendiri di hadapan Hakim. Organ pemerintah adalah pemikul kewajiban tanggungjawab).
2. (Pelaksanaan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan norma hukum administrasi, organ pemerintahan dapat bertindak sebagai pihak tergugat dalam proses peradilan, yaitu dalam hal ada keberatan, banding atau perlawanan).
3. (Di samping sebagai pihak tergugat, organ pemerintahan juga dapat tampil menjadi pihak yang tidak puas, artinya sebagai penggugat).
4. (Pada prinsipnya organ pemerintahan tidak memiliki harta kekayaan sendiri. Organ pemerintahan merupakan bagian (alat) dari badan hukum menurut hukum privat dengan harta kekayaannya. Jabatan Bupati atau Walikota adalah organ-organ dari badan umum ”Kabupaten”. Berdasarkan aturan hukum badan umum inilah yang dapat memiliki harta kekayaan, bukan organ pemerintahannya).
Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Jabatan dapat melakukan perbuatan hukum, yang dilakukan melalui perwakilan yaitu pejabat. Antara jabatan dengan pejabat memiliki hubungan yang erat, namun diantara keduanya sebenarnya memiliki kedudukan hukum yang berbeda atau terpisah dan diatur dengan hukum yang berbeda. Jabatan diatur oleh hukum tata negara dan hukum administrasi, sedangkan pejabat diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian.
Tindakan hukum jabatan pemerintah dijalankan oleh pemerintah. Dengan demikian, kedudukan hukum pemerintah berdasarkan hukum publik adalah wakil dari jabatan pemerintahan.
3. Pemerintah Sebagai Subjek Hukum Perdata Dalam Kontrak Pengadaan Barang Atau Jasa
Dalam pengadaan barang atau jasa, pemerintah tidak dapat memposisikan dirinya lebih tinggi dari penyedia barang atau jasanya, walaupun pemerintah merupakan lembaga yang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat mengatur (regulator). Hal ini dikarenakan dalam hukum perjanjian para pihak mempunyai kedudukan yang sama, sebagaimana tercermin dalam pasal 1338 BW. Dalam konteks demikian, maka baik pemerintah maupun penyedia barang atau jasa sama-sama memilki kedudukan yang sejajar dalam pemenuhan hak dan kewajiban yang tertuang di dalam kontrak yang di sepakati.
Keterlibatan pemerintah dalam suatu hubungan kontraktual ini berbeda dengan kontrak komersial pada umumnya, karena karakteristik dari kontrak ini tidak murni lagi merupakan tindakan hukum privat tetapi juga sudah ada campuran hukum publik di dalamnya. Keterlibatan pemerintah dalam kontrak ini menunjukan tindakan pemerintah tersebut diklasifikasikan dalam tindakan pemerintahan yang bersifat keperdataan.
Pemerintah sebagai salah satu subjek hukum dalam tindakan perdata, maka pemerintah merupakan badan hukum, karena menurut Apeldoorn negara, propinsi, kotapraja dan lain sebaginya adalah badan hukum. Hanya saja pendiriannya tidak dilakukan secara khusus, melainkan tumbuh secara historis.8 Pemerintah dianggap sebagai badan hukum, karena pemerintah menjalankan kegiatan komersial (acts jure gestionisi).
Pemerintah sebagai badan hukum juga dapat di temukan dalam pasal 1653 BW, yang menyebutkan:
“ Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga di akui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakui sebagai demikian, entah pula badan hukum itu di terima sebagai yang di perkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan”.
Cara pendirian badan hukum tersebut yang digariskan oleh pasal 1653 BW, maka menurut Chidir Ali ada 3 (tiga) bentuk badan hukum, yaitu:9
(a) Badan hukum yang diadakan oleh kepentingan umum (pemerintah atau negara), termasuk di dalamnnya badan-badan hukum publik seperti propinsi, daerah swapraja, kabupaten dan sebagainya;
(b) Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum;
(c) Badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.
Dari ketiga jenis badan hukum yang disebutkan, bentuk yang ketiga ini disebut juga badan hukum dengan konstruksi keperdataan.
Dalam pengadaan barang barang atau jasa, pemerintah akan membingkai hubungan hukum dengan penyedia barang atau jasanya dalam sebuah kontrak pengadaan barang atau kontrak pengadaan jasa. Dengan kata lain pemerintah menjadi salah satu pihak dalam sebuah kontrak. Kedudukan pemerintah dalam pergaulan hukum keperdataan tidak berbeda dengan subjek hukum privat lainnya yakni orang maupun badan hukum, Sebagai subjek hukum perdata pemerintah dapat mengikatkan dirinya dengan pihak ketiga dalam hal ini penyedia barang ataiu jasa. Hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, sampai kepada prosedur pelaksanaannya harus diatur secara jelas dan dituangkan dalam bentuk kontrak.
Kedudukan Pemerintah dalam kontrak juga tidak memiliki kedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam peradilan umum.
C. P E N U T U P
Kesimpulan
Subjek Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid) untuk melakukan perbuatan hukum. Dikenal 2 (dua) macam subjek hukum perdata yakni manusia (naturlijk person) dan badan hukum (recht person).
Negara dalam perspektif hukum perdata adalah sebagai badan hukum publik. Bila berdasarkan hukum publik negara adalah organisasi jabatan atau kumpulan dari organ-organ kenegaraan, yang di dalamnya terdapat organ pemerintahan, maka berdasarkan hukum perdata, negara adalah kumpulan dari badan-badan hukum, yang di dalamnya terdapat badan pemerintahan.
Tindakan hukum badan pemerintahan dilakukan oleh pemerintah sebagaimana manusia dan badan hukum privat terlibat dalam lalu lintas pergaulan hukum. Pemerintah menjual dan membeli, menyewa dan menyewakan, menggadai dan menggadaikan, membuat perjanjian, dan mempunyai hak milik. Ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan.
DAFTAR PUSTAKA
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 2005;
Daliyo, J. B, et.all, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992;
Philipus M. Hadjon, et.all., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1982;
Salim H. S. Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008;
Simamora,Yohanes Sogar, Pembentukan Dan Pelaksanaan Kontrak Pengadaan, Seminar Nasional Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2006;
Soemitro, Rochmat, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Eresco, Bandung,1993
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
REVIEW JURNAL ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05
Analisis Kelayakan Penggabungan Usaha PT Pelindo I (Persero) dan PT Pelindo II (Persero) Agunan P. Samosir Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor 4 Desember 2005 110
ANALISIS KELAYAKAN PENGGABUNGAN USAHA
PT PELINDO I (PERSERO) DAN PT PELINDO II (PERSERO)
ABSTRAK
Dalam rangka memperkuat kinerja BUMN, Pemerintah mencoba melakukan privatisasi dalam berbagai bentuk, antara lain: penjualan saham seluruhnya atau sebagian, penggabungan (merger) dan lain-lainnya. Salah satu privatisasi yang ingin dilakukan Pemerintah adalah penggabungan udaha Pelindo I dan Pelindo II menjadi Pelindo Kawasan Barat. Adapun tujuan penggabungan tersebut adalah memperkuat kepengusahaan pelabuhan di Indonesia. Namun, penggabungan tersebut tidaklah mudah untuk dilaksanakan, karena terkait dengan peraturan-peraturan seperti undang-undang persaingan usaha, kelayakan penggabungan usaha dan apakah penggabungan tersebut dapat memberikan nilai tambah kepada pemilik (pemerintah). Untuk itulah, paper ini mencoba untuk mengkaji pakah kedua BUMN tersebut layak digabungkan?
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Merger secara luas dapat diartikan adalah bentuk pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lainnya, pada saat kegiatan usaha dari kedua perusahaan tersebut disatukan. Sedangkan pengertian yang lebih sempit adalah penggabungan sumber-sumber daya yang ada pada kedua perusahaan menjadi satu bentuk usaha yang diharapkan bersama (Coyle, 2002). Dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan untuk memperoleh keuntungan yang optimal, banyak perusahaan di Indonesia melakukan penggabungan usaha yang sejenis untuk menguasai pasar yang ada. Namun, seringkali penggabungan yang terjadi justru mengakibatkan perusahaan baru hasil dari penggabungan tersebut menjadi tidak menguntungkan atau tidak sesuai dengan harapan semula.
Hasil studi yang dilakukan Samosir (2003) dalam Analisis Kinerja Bank Mandiri Setelah Merger dan Sebagai Bank Rekapitalisasi (Kajian Ekonomi dan Keuangan, Maret 2003) tentang penggabungan empat bank badan usaha milik negara (BUMN) yaitu Bank Exim, Bank BDN, Bank BBD, dan Bank Bapindo menjadi Bank Mandiri, menunjukkan kinerja Bank Mandiri setelah merger tidak memiliki dampak yang sehat. Disamping itu, merger tidak selalu menciptakan efisiensi, walaupun peningkatan total aktiva dapat mencapai skala ekonomis, belum cukup untuk menciptakan efisiensi Bank Mandiri.
Beberapa waktu yang lalu yaitu pada tahun 2001, pemerintah mencoba untuk menggabungkan perusahaan milik negara atau badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak dibidang pelabuhan wilayah Sumatera, Banten, Jakarta dan Jawa Barat yaitu PT Pelabuhan Indonesia I (PT Pelindo I) dan PT Pelabuhan Indonesia II (PT Pelindo II). Adapun tujuan dari penggabungan tersebut adalah meningkatkan kinerja pengelolaan jasa kepelabuhanan agar lebih efisien dan optimal, sekaligus dapat mendukung peningkatan daya saing barang produksi Indonesia di tingkat global, artinya pemerintah memandang perlu untuk menata ulang manajemen kepelabuhanan melalui upaya restrukturisasi organisasi kepelabuhanan secara nasional.
1.2 Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan pemikiran dan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:
1) Apakah penggabungan PT Pelindo II dengan PT Pelindo I akan menciptakan kinerja keuangan yang semakin membaik?
2) Apakah layak kedua BUMN tersebut digabungkan menjadi Pelabuhan Kawasan Barat di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai antara lain:
1) Untuk mengidentifikasi kinerja keuangan yang tercapai dari hasil penggabungan kedua BUMN tersebut;
2) Untuk mengetahui kelayakan penggabungan usaha kedua BUMN tersebut.
3) Skenario kontribusi terhadap APBN dengan kondisi sebelum dan sesudah digabung.
1.4 Metode Penelitian Untuk mengetahui kelayakan penggabungan pada kedua perusahaan pelabuhan ini, maka terlebih dahulu dianalisis efisiensi melalui Data Envelopment Analysis (DEA). Tujuan metode DEA adalah mengetahui seberapa besar kinerja masing-masing cabang yang ada di masing-masing Pelindo. Setelah diketahui efisiensi relatifnya, selanjutnya penilaian aspek manajerial dengan menggunakan konsiderasi nilai weakness, nilai timbang dan nilai kinerja. Semakin positif nilai yang dihasilkan, maka semakin layak perusahaan tersebut untuk digabung atau dimerger.
1.4.1 Metode Data Envelopment Analysis (DEA) Salah satu aspek yang digunakan untuk menentukan kinerja suatu unit kegiatan ekonomi adalah efisiensi ekonomi. Efisiensi ekonomi ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu efisiensi teknis (technical efficiency) dan efisiensi alokasi (allocation efficiency ). Efisiensi teknis merupakan kapasitas produksi unit kegiatan ekonomi untuk memproduksi tingkat output yang maksimum dari input dan teknologi yang tetap.
Di lain pihak, efisiensi alokasi merupakan kemampuan unit ekonomi dalam memperhitungkan tingkat nilai produk marjinal (marginal value product) dan biaya marjinal (marjinal cost). Apabila besaran efisiensi ini dapat dikualifikasikan maka dapat diperoleh beberapa manfaat untuk pertama, membandingkan tingkat efisiensi antarunit ekonomi unit ekonomi yang sama, kedua mengukur berbagai variasi efisiensi antarunit ekonomi untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya, serta ketiga, untuk menentukan implikasi kebijakan sehingga dapat meningkatkan tingkat efisiensinya.
1.4.2 Metode Kelayakan Penggabungan dengan Nilai Manajerial Analisis nilai adalah suatu analisis yang menghasilkan nilai kuantitatif yang diperoleh atas dasar penentuan nilai weakness dan nilai timbang terhadap tujuh aspek yang ada di PT Pelindo II dan PT Pelindo I yaitu: aspek transportasi, aspek organisasi dan sumber daya manusia, aspek keuangan, aspek kepengusahaan, aspek operasional pelabuhan, aspek legalitas, serta aspek politik. Nilai weakness maupun nilai timbang masing-masing aspek ditentukan berdasarkan hasil analisis, intuisi, dan pertimbangan yang akomodatif. Berdasarkan hasil penilaian dari kedua perusahaan terhadap ketujuh aspek tersebut kemudian dibuat rata-rata. Dari perkalian nilai weakness rata-rata dan nilai timbang rata-rata akan dihasilkan nilai kinerja yang merupakan nilai, besaran atau angka untuk dipergunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan.
II. Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi, Motif dan Pertimbangan Merger
merger adalah suatu keputusan untuk mengkombinasikan/menggabungkan dua atau lebih perusahaan menjadi satu perusahaan baru. Dalam konteks bisnis, merger adalah suatu transaksi yang menggabungkan beberapa unit ekonomi menjadi satu unit ekonomi yang baru. Proses merger umumnya memakan waktu yang cukup lama, karena masing-masing pihak perlu melakukan negosiasi, baik terhadap aspek-aspek permodalan maupun aspek manajemen, sumber daya manusia serta aspek hukum dari perusahaan yang baru tersebut. Oleh karena itu, penggabungan usaha tersebut dilakukan secara drastis yang dikenal dengan akuisisi atau pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain.
Motif perusahaan-perusahaan untuk melakukan merger sebenarnya didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan dalam rangka memenangkan persaingan dalam bisnis yang semakin kompetitif. Cost saving dapat dicapai karena dua atau lebih perusahaan yang memiliki kekuatan berbeda melakukan penggabungan, sehingga mereka dapat meningkatkan nilai perusahaan secara bersama-sama.
Merger juga dimaksudkan untuk menghindarkan perusahaan dari risiko bangkrut, di mana kondisi salah satu atau kedua perusahaan yang ingin bergabung sedang dalam ancaman bangkrut. Penyebabnya bisa karena miss management atau karena faktor-faktor lain seperti kehilangan pasar, keusangan teknologi dan/atau kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Melalui merger, kedua perusahaan tersebut akan bersama menciptakan strategi baru untuk menghindari risiko bangkrut.
Perusahaan yang menerima penggabungan akan menerima/mengambil alih seluruh saham (shares/stocks), harta kekayaan (assets), hak (rights), kewajiban, dan utang (liabilities) perusahaan-perusahaan yang menggabungkan diri.
Merger juga dimaksudkan untuk mengarahkan perusahaan beroperasi secara efisien. Bahkan motif ini sering dijadikan indikator utama (major indicator) dari sebuah kebijaksanaan merger. Beberapa praktisi bisnis berpendapat bahwa kebijaksanaan merger dapat dikatakan berhasil apabila merger tersebut dapat paling sedikit menghasilkan apa yang disebut sinergitik (sinergy) baru, dalam arti penggabungan dua perusahaan atau lebih tersebut di mana laba yang dicapai akan jauh lebih besar dibanding laba yang dicapai secara sendiri-sendiri ketika sebelum melakukan merger. Kondisi ini tentu akan menaikkan tingkat efisiensi, karena pada dasarnya operating sinergy dapat meningkatkan economy of scale, sehingga berbagai sumber daya yang ada dapat saling melengkapi, dan koordinasi yang lebih baik antarberbagai tahap produksi.
III. Hasil Analisis
3.1 Analisis Tingkat Efisiensi Kantor-kantor Cabang Dalam rangka menghadapi arus perdagangan dunia yang ditandai dengan berlakunya AFTA tahun 2003, maka cepat atau lambat PT (Persero) Pelindo II dan Pelindo I dan akan menghadapi tantangan yang besar sebagai akibat globalisasi di bidang pengangkutan laut. Untuk itu, PT (Persero) Pelindo II dan Pelindo I sebagai badan usaha yang mengelola jasa kepelabuhanan diharapkan dapat bertahan dan sekaligus dapat menangkap peluang bisnis dengan hadirnya pelayaran asing yang datang ke Indonesia.
Agar dapat bertahan di era globalisasi tersebut, kedua BUMN ini beserta jajaran (kantor cabang) harus efisien dalam melaksanakan bisnis maupun pelayanan pengangkutan barang maupun penumpang. Karena dalam situasi seperti itu, hanya bisnis entity yang efisien akan mampu bertahan dan sebaliknya, apabila jajaran kedua Pelindo tersebut tidak mampu melakukan efisiensi di tingkat operasional maka tak ayal lagi bisnis pelayanan pengangkutan laut akan ditinggalkan oleh pelayaran asing yang membawa barang maupun penumpang ke Indonesia.
3.2 Pengukuran Tingkat Efisiensi Relatif
Untuk mengukur tingkat efisiensi relatif, digunakan dua pendekatan,yakni pendekatan tingkat efisiensi fisik (input di-proxy dari jumlah SDM, kapasitas dermaga, kapasitas gudang dan lapangan penumpukan, kapasitas alat bantu dan bongkar muat, sedangkan output di-proxy dari arus penumpang, arus barang dan arus kunjungan kapal), sementara pendekatan efisiensi keuangan, output di-proxy dari tingkat perolehan laba kotor (earning before tax) dan total pendapatan, dan input di-proxy dari total asset, biaya usaha, modal usaha, dan total kewajiban meliputi utang jangka panjang dan jangka pendek.
IV. Penutup
4.1 Simpulan
Dari analisis yang dilakukan pada bab–bab sebelumnya, dapat ditarik koherensi hal-hal sebagai berikut:
1. Analisis keuangan dengan menggunakan metode DEA untuk mengukur tingkat efisiensi keuangan relatif dimana input di-proxy dari total aset, biaya usaha, modal usaha, dan total kewajiban yang meliputi hutang jangka pendek dan jangka penjang dan output di-proxy dari laba kotor (earning before tax) serta total pendapatan; menunjukkan bahwa di lingkungan PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II yang memiliki tingkat efisiensi keuangan relatif didominasi oleh cabang-cabang kelas I seperti pelabuhan Palembang, Teluk Bayur dan Pontianak. Sedangkan pelabuhan cabang kelas II hanya di pelabuhan Banten. Di antara pelabuhan Utama yang memiliki tingkat efisiensi keuangan relatif hanya di pelabuhan Panjang.
2. Analisis nilai manajerial terhadap merger didasarkan atas konsideran nilai weakness, nilai timbang, dan nilai kinerja terhadap 3 aspek yang menjadi obyek penelitian yakni aspek keuangan, kepengusahaan, dan operasional pelabuhan. Hasil akhir nilai kinerja secara totalitas menunjukkan angka negatif. Kondisi demikian mengindikasikan sebagian dari ketujuh aspek di atas masih perlu dilakukan pembenahan secara manajerial agar dapat memperbaiki nilai weakness dan menaikkan nilai timbang.
4.2 Rekomendasi
1. Dengan hasil analisis terhadap merger menunjukkan nilai negatif, sebelum rencana tersebut dilaksanakan seyogyanya dilakukan perbaikan/pembenahan terhadap aspek-aspek yang menyumbangkan nilai kinerja negatif, seperti: Keuangan, Pengusahaan, dan Operasional Pelabuhan. Perlunya peningkatan kinerja keuangan terutama menyangkut likuiditas dan solvabilitas melalui penurunan proporsi deviden dari pendapatan yang diperoleh serta memperkecil nilai bed debt. Program ini dibutuhkan paling tidak untuk jangka waktu 3 tahun agar masing-masing BUMN berkesempatan untuk memperbaiki kinerja keuangannya. Langkah ini patut dipertimbangkan karena akan mengeliminir pandangan bahwa rencana merger yang akan dilakukan adalah untuk meng-cover salah satu BUMN dari kesulitan ekonomi.
V. Daftar Pustaka
__________, (2001), Laporan Rencana Jangka Panjang Perusahaan Pelindo II
__________, (2001), Laporan Rencana Jangka Panjang Perusahaan Pelindo I
__________, (2001), Laporan Keuangan Perusahaan Berbagai Terbitan di Pelindo II dan Pelindo I
Anderson, David R., Sweeney, Dennis J. & William, Thomas A., (2002), Statistics for Business and Economics, Eight edition, Thompson Learning, South Western.
B, Taufik, (2002), Mikroekonomi Untuk Kebijakan Publik, Penerbit Pustaka Petronomika, Jakarta.
Benstein, Leopold A., (1974). Financial Statement Analysis: Teory and Interpretation.
Caldwell, Anderson, Needles (1984). Principles of Accounting, Houdhton Miffin Company Boston Dallas Geneva Illinois Hopewell, New Jersey Dalto, Second Edition. Analisis Kelayakan Penggabungan Usaha PT Pelindo I (Persero) dan PT Pelindo II (Persero) Agunan P. Samosir
Carney, William J., (2000), Mergers and Acquisition: Cases and Materials, Foundation Press, New York.
Coyle, Brian, (2000), Mergers and Acquisitions, Amacom, New York.
Federal Trade Commision, Horizontal Merger Guidelines, http:/www.usdoj.gov/atr/public/guidelines/horizbook/hmg1.html.
Gaughan, Patrick A., (1999), “Mergers, Acquisition and Corporate Restructurings”, John Wiley & Sons, Inc., New York.
Hadinoto & Partners, Hadiputranto., (2002), “Merger & Acquisitions Indonesia”, Penerbit Hadiputranto, Hadinoto & Partners.
Helfert, A. Erich ,(1983), Teknik Analisa Keuangan, Alih Bahasa Drs. Ak. Wisnu Widjaya & Moh. Badjuri, Penerbit Erlangga.
Hermanson, Roger H., James Don Edward, Cecily A Raiborn. (1984). Financial Accounting, Business Publication. INC, Second Edition.
Hitt, Michael A., Harrison, Jeffrey S. dan Ireland, R. Duane, (2002), “Merger dan Akuisisi: Panduan Meraih Laba Bagi Para Pemegang Saham”, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Cetakan pertama.
Morris, Joseph M., (2000), ”Mergers and Acquisitions – Business Strategis for Accountants”, John Wiley & Sons, Inc., New York.
Legowo, (1996), “Persaingan Usaha dan Pengambilan Keputusan Manajemen”, Penerbit UI Press, Jakarta.
Republik Indonesia, (1995), “Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”.
Republik Indonesia, (1998), “Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas”.
Republik Indonesia, (1999), “Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, (1995), “Metode Penelitian Survai”, Edisi revisi, cetakan kedua, penerbit LP3ES, Jakarta.
Suyono, R.P. CaPT, (2001), ”Shipping: Pengangkutan Intermodal Ekspor Impor Melalui Laut”, Penerbit PPM, Seri Bisnis Internasional, Cetakan Pertama, Jakarta.
Samosir, Agunan, (2003), ”Analisis Kinerja Bank Mandiri Setelah Merger”, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 6, Nomor 1, Maret 2003, Pusat Statistik dan Penelitian Keuangan, Jakarta.
Usman, Marzuki, (1997), “Merger Sebagai Salah Satu Langkah Manajemen Perbankan Dalam Mengantisipasi Persaingan Global,” Majalah Usahawan, April No. 4/1997,
Van Horne, James C., (1981). Financial Management and Policy, Fifth edition.
Weston, J. Frend and Thomas E. Copeland, (1994), “Manajemen Keuangan” (Terjemahan Jaka Wasana dan Kirbandoko), Edisi kedelapan, jilid pertama, penerbit Erlangga, Jakarta.
Widjaja, Gunawan, (2002), ”Merger dalam Perspektif Monopoli”, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Cetakan pertama.
Langganan:
Postingan (Atom)